Sebagai bagian dari rangkaian AdventureNEXT di India (baca di blog saya di sini), para delegasi dipersilakan memilih salah satu dari 8 jenis post-adventure trip. Namanya juga acara adventure, maka aktivitas tripnya bervariasi mulai dari ziplining, white water rafting, sampai mountain biking. Saya akhirnya memilih “Walking Holiday in the Himalayas – Kullu Valley” oleh Banjara Camps karena tingkat kesulitannya paling rendah, yaitu 2 dari 5. Jangan membayangkan Himalaya itu adalah Mount Everest tapi ini hanya di sebagian kecil pegunungan Himalaya, tepatnya di propinsi Himachal Pradesh di India. Namun trip ini periodenya paling panjang, yaitu satu minggu penuh pada 6-13 Desember 2018.
Terus terang saya langsung jiper! Walking Holiday memang artinya liburan sambil jalan kaki, tapi ini di Himalaya! Artinya, jalan kaki di ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut. Nggak mungkin banget jalannya rata, bukan? Aktivitas ini sih lebih tepat disebut hiking, atau malah trekking. Dan dilakukan dalam seminggu? Omaigat! Pada musim winter yang bersalju pula! Brrrrr! Tambah jiper lagi ini grup internasional. You know lah bule kalo jalan kan ngacir bener, apalagi kalau hiking. Secara jangkung, selangkah dia adalah dua langkah kita. Saya hanya bisa berharap teman segrup nanti ada yang jalannya lebih lambat daripada saya.
Singkat cerita, kami semua bertemu di stasiun kereta api New Delhi. Ternyata doa saya terkabul. Segrup isinya cuman bertiga, yaitu saya, seorang cewek India yang anak gunung garis keras, dan seorang kakek Amerika berusia 67 tahun! Guide kami adalah Rajesh, pria India setinggi 190 cm, besar bak beruang dan merupakan pemilik Banjara Camps yang mengorganisasikan trip ini. Kombinasi yang aneh bukan?

Kami naik kereta dengan jurusan Delhi-Chandigargh selama 3 jam. Dilanjutkan dengan naik mobil yang disupiri oleh Rajesh menuju Thanedhar dengan jalan yang berliku-liku menyusuri lereng pegunungan. Kami melalui Shimla, tempat syuting film India terkenal berjudul “3 Idiots” yang ternyata ramenya minta ampun. Menjelang malam akhirnya tiba di Banjara Orchard Retreat dan kami tinggal di kabin kayu yang menghadap lembah dengan kedalaman 2.000 meter!

Besoknya, jalan-jalan eh pendakian pertama dimulai. Entah berada di ketinggian berapa, yang jelas vegetasinya didominasi oleh pohon pinus khas dataran tinggi. Awalnya masih jalan setapak yang agak menanjak, dengan pedenya saya jalan sambil siul-siul karena pemandangannya memang indah. Di antara pepohonan pinus tersebut, menjulanglah pegunungan dengan puncak bersalju: Himalaya! Lama-lama kami masuk ke hutan dengan pepohonan yang semakin rapat dan agak gelap, yang semakin menanjak curam dan bikin ngos-ngosan. Baru sadar bahwa si cewek India yang tadinya di depan saya sudah tidak terlihat, begitu pula si aki bule di belakang saya juga tidak terlihat. Buset, jarak kami satu sama lain begitu jauh! Saya terus melangkah menanjak sambil menyumpah serapah dalam hati, “Ngapain juga gue ikut beginian? Capek, tauk!” Keringat berkucuran dari kening dan punggung basah sehingga saya membuka jaket terluar.
Tau-tau di depan terpampang hamparan salju! Dasar norak, saya langsung pegang-pegang es dan menunggu si aki supaya ada yang motoin. Maklum #anakmedsos! Si aki akhirnya datang dan dengan suksesnya kepleset sampai terjerembap! Ouch! Singkat cerita, kami berjalan sambil mengsle-mengsle di atas es, di atas pasir, terus menanjak ke atas sampai… eh kok ada jalan beraspal? 1 km dari situ sampailah kami pada plang bertuliskan “Hatu Peak at 3,352 m” dan di atasnya ada kuil! Lah, ngapain juga capek-capek hiking berjam-jam kalau bisa naik mobil sampai ke atas sini?! Rajesh tertawa, “Lha kan kita walking tour, bukan car tour!” Sial. Eh, tapi bangga deng karena saya berhasil menyelesaikan pendakian hari itu.
Dari Thanedhar kami berkendara seharian ke Sojha melalui lereng pegunungan Himalaya. Karena semobil isinya hanya kami berempat, maka kami santai aja kalau mau berhenti untuk berfoto. Namun si aki yang ternyata penderita diabetes itu paling sering minta berhenti untuk buang air kecil di pinggir jalan. Duh, kalau saya diberkahi umur 67 tahun, mana mau saya ikutan trip hiking begini! Sore hari kami tiba di Banjara Retreat and Cottage yang berada di Lembah Seraj dan mengadap Pir Panjal Range – pegunungan bersalju yang merupakan bagian Inner Himalaya yang memanjang sampai Kashmir. Cuacanya dingin! Saya sampai menggigil dan keluar asap dari mulut kayak di AC Milan.
Pendakian selanjutnya dimulai dari Jalori Pass dengan ketinggian 3.120 meter. Wah, hampir sama tingginya dengan puncak Gunung Lawu – gunung tertinggi yang pernah saya daki 20 kg yang lalu! Si aki yang masih trauma dengan pendakian kemarin memutuskan untuk tidak ikut. Waduh, saya bakal jadi buntut sendirian ini! Kami memasuki hutan dengan jalan setapak yang agak menanjak. Di beberapa bagian tanahnya tertutup salju tapi saya sudah tidak peduli karena takut ketinggalan mengingat si cewek India sudah tidak kelihatan. Ternyata setelah itu jalannya sangat terjal sampai berkali-kali saya minta ampun tolong Rajesh untuk menarik tubuh saya. Hampir saya menyerah tapi saat keluar dari hutan Ek, terhamparlah padang rumput. This is it! Saya langsung merebahkan badan saking leganya.
“Kita belum selesai!” kata Rajesh. HAH? Dia menunjuk satu titik di puncak bukit yang katanya ada Benteng Raghupur. Buset, berarti masih jauh banget! Saya pun lanjut berjalan dengan misuh-misuh kesal. Tak lama kemudian muka bete saya berubah menjadi hepi karena pemandangannya sungguh spektakuler. Kami berada di puncak yang menghadap Lembah Tirthan dengan pemandangan 360° pegunungan bersalju Himalaya, Dhauladhar, dan Kinnaur yang berlapis-lapis! Ini tempat tinggi sekali, burung elang saja terbang di bawah kami! Di ujung tebing, salju menghampar dengan indahnya. Kami pun asyik berfoto dan saya menolak meneruskan ke benteng karena untuk mencapainya berarti kami harus turun lembah untuk naik lagi.
Karena kecapekan, paginya kami hanya jalan kaki di sekitar kampung saja – itupun si aki jatuh terjerembap lagi! Rencana menginap dua malam di Sojha dibatalkan karena kami semua kedinginan. Kami pun pindah ke Sonaugi yang “hanya” berada di ketinggian 1.920 mdpl. Untuk mencapai ke sana, kami harus berkendara dua ribuan meter turun ke dasar dulu, menyebrangi sungai, baru naik lereng gunung lagi. Penginapan terakhir trip kami adalah di Sonaugi Homestead yang paling baru dibangun dan paling cantik. Pegunungan Himalaya yang bersalju itu paling jelas terlihat dari Kullu karena letaknya paling dekat ke penginapan. Suasana yang homey itu membuat kami bermalas-malasan saja kerjanya. Satu harian kami isi dengan jalan-jalan naik mobil ke Manali – destinasi turis paling populer dan makan pizza paling enak se-India.
Hiking terakhir di Sonaugi, Rajesh mengusulkan untuk ambil rute Janna Village Walk. Terdengar mudah macam jalan-jalan di kampung doang, tapi baru berjalan mendaki setengah jam saja si aki menyerah, diikuti si cewek India dengan alasan malas. Tinggal saya, Rajesh, seekor anjing bernama Lakshmi, dan seorang anak laki berusia 16 tahun yang bekerja di penginapan. Dua jam berjalan saya masih bertahan sampai akhirnya kami dihadapkan oleh bebatuan berundak yang dialiri air bak air terjun. Mulai dari situ saya ampun-ampun naiknya karena susah menjaga keseimbangan di batu dan lumpur yang licin, ditambah lagi hujan yang tiba-tiba turun! Kami memang akhirnya tiba di Desa Janna, tapi desa ini terletak di lereng pegunungan. Semua jalan berupa tangga bebatuan alami yang tak ada habisnya menanjak ke atas.
“Come on! You can do it! Dikit lagi kok! Nanti di atas sana kita makan!” kata Rajesh menyemangati saya sambil menunjuk ujung desa yang berada jauh di atas – untuk melihatnya saja saya harus menengadahkan kepala! Omaigat! Kaki saya terasa sangat berat, jantung saya berdebum keras, keringat dingin mengucur, mental saya drop – saya hampir semaput! Saya berjalan sampai menangis karena frustasi! Tiba di puncak, berjalan 1 km lagi, tibalah kami di sebuah rumah makan di pinggir air terjun. Ajaibnya, seketika itu turunlah hujan salju! Ah, sungguh akhir yang bahagia!
Epilog:
Sungguh saya sangat bangga atas pencapaian ini. Setelah turun berat badan cukup signifikan, saya jadi lebih kuat hiking. Setahun yang lalu mana mau saya ikut trip beginian! Tapi saya jadi kepikiran: apakah karena saya gendut maka saya malas? Atau karena saya malas maka saya jadi gendut?
