Sudah setua gini, masih ada aja orang yang nanya ke saya, “Kapan menikah? Kok masih jomblo aja?”. Nah, ini saya kasih jawaban yang agak panjang mengenai pemikiran saya terhadap pernikahan dan status kejombloan saya.
Pertama, diperlukan lingkungan yang stabil untuk menjalin suatu hubungan percintaan. Makanya jauh lebih mudah pacaran zaman kuliah dan jadi MMK (Mbak-Mbak Kantoran) daripada setelah jadi full time traveler dan freelance writer. Ingat pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino? Lingkungan kampus dan kantor itu membuat kita bertemu dengan orang yang sama dalam waktu yang lama – yang bikin lama-lama tumbuh rasa saling suka karena terbiasa bersama. Kerja kantoran pun udah jelas jam kerjanya, liburnya 2 minggu setahun. Makanya kalau diajak kencan jadi gampang: kalau nggak pas pulang kantor, ya weekend.
Masalahnya, dengan jenis pekerjaan saya, urusan percintaan ini menjadi sungguh rumit. Sahabat sendiri aja kalo mau ketemuan nanya dulu, “Lo lagi ada di Jakarta nggak?” – apalagi cowok yang mau ngajak kencan! Setiap mau ketemuan, ada aja jadwal trip.
Pembicaraan ini klasik banget dan sering terjadi;
“Sabtu ini ketemuan yuk!” tanya si cowok.
“Aduh, dari Jumat gue cabut ke negara X,” jawab saya.
“Minggu depannya?”
“Di negara Y.”
“Kalau bulan depan?”
“Masih kosong sih, tapi ada rencana ke kota Z cuman belum confirm.”
Aduh, mau ketemu aja susah banget! Lama-lama cowok-cowok pun jadi males dan berkata, “Sorry, I can’t catch you up!”
Bagaimana dengan cinlok? Kan sering traveling ke seluruh dunia, masa nggak ada yang nyangkut? Gini ya. Cinlok sih sering. Pake banget malah. Tapi itu bisa dikatakan hanya sebatas “holiday fling” alias gebetan selama liburan doang.
Namanya juga liburan di tempat baru, segalanya jadi lebih indah, mood jadi baik, perasaan jadi bergejolak. Begitu ketemu yang cocok, rasanya langsung jatuh cinta. Makan bareng, minum bareng, jalan bareng… sampai akhirnya berpisah. Dari awal juga udah sadar bahwa akhirnya akan begini. Sesama traveler itu sudah tahu bahwa yang satu akan menuju ke tempat lain, yang satunya lagi juga. Kadang memang bisa berubah destinasi karena salah satu mau ngikut barengan, tapi waktu juga akhirnya yang bikin kisah selesai. Salah satu liburannya habis, salah satu harus pulang. Yaaaah…!
Memang tidak semua berakhir kayak begini. Saya lah saksi dari sekian banyaknya teman jalan saya yang berjodoh karena ketemu pas lagi traveling antara orang asing dan orang lokal atau antara sesama traveler antarbangsa. Cewek Inggris dengan cowok India, cowok Amerika dengan cewek Kolombia, cowok Prancis dengan cewek Spanyol, cewek Austria dengan cowok New Zealand, dan lain-lain. Dengan paspor dari negara maju, mereka sih enak aja tinggal pindah ke negara manapun ngikutin pasangannya. Mereka bisa tinggal dan kerja di mana saja. Apalagi kulit putih yang tinggal di negara berkembang, mereka dipuja dan lapangan kerja lebih terbuka.
Nah, gimana caranya dengan pemegang paspor Indonesia? Wah, sulit banget! Udah visa dapetnya susah, lama tinggal terbatas, mau kerja juga nggak bisa karena cuma punya visa turis. Karena paspor ini lah kita nggak bisa seimpulsif bule yang main pergi aja demi mengejar cinta. Kalau untung, bisa sih kita disponsori pasangan untuk tinggal di sana. Dengan kondisi belum dinikahin, jadi mikir gimana dengan keluarga kita di sini? Trus, di sana kita ngapain?
Sebaliknya kalau cowoknya mau tinggal di Indonesia, gimana caranya? Kalau bukan expat yang bekerja di kantor besar atau pengusaha beneran, bikin KITAS itu susah, harganya pun mahal bener. Kecuali mau bela-belain cara visa run yang tiap sebulan sekali ke luar negeri baru masuk Indonesia lagi.
Pernah mencoba LDR (long distance relationship), tapi lama-lama siapa yang kuat? Mau chatting beda zona waktu, mau saling mengunjungi ongkosnya mahal. Hadeuh, pelik!
Kalau sudah nonton film Trinity Traveler, tokoh Paul yang diperankan Hamish Daud itu adalah contoh standar hubungan saya dengan cowok. Kenalan pas traveling, jalan bareng, trus bubar entah ke mana. Mungkin karena sesama traveler yang susah dipegang buntutnya.
Cinta bagi saya maknanya dalam banget, tapi pernikahan itu jauh lebih dalam. Saya berprinsip menikah itu hanya sekali seumur hidup, jadi pertimbangannya makin panjang. Memang benar zaman masih muda kita bebas milih yang kita suka, semakin tua pilihan semakin nggak ada. Tapi itu bukan berarti kita memilih sembarangan hanya demi menikah. Makanya saya paling sebal kalau dituduh, “Elo sih picky!” Ebuset! Beli baju aja kita kudu milih yang terbaik, masa suami kita nggak milih – padahal akan tidur seranjang sepanjang hidup kita!
Prinsip saya yang lain: saya nggak bakal bela-belain menikah kalau hidup saya nantinya tidak lebih baik, atau minimal sama, dengan hidup saya sekarang. Pembokat saya aja punya prinsip, “Kalo udah kawin tapi gue masih jadi babu juga mah males!” Nah, kan?
Maklum, orang Indonesia itu kebanyakan memang live in fear (hidup dalam ketakutan). Takut nggak laku, takut nggak menikah, takut nggak punya anak, takut nggak ada yang ngurus saat tua, takut jadi omongan, takut ini, takut itu. Akhirnya jadi menikah karena segala ketakutan-ketakutan itu.
Beberapa kenalan saya “berhasil” menikah dengan sistem dijodohin pemuka agama karena tekanan lingkungan, ada juga yang menikah karena orang tua udah sakit-sakitan, karena ini-itu. Sungguh saya salut dengan mereka yang mau berbuat demikian demi “kebahagian” orang lain.
Kalau zaman dulu memang menikah itu merupakan suatu norma, suatu keharusan. Tapi sekarang kita punya pilihan untuk tidak menikah kok – asal berani tidak live in fear. Bodo amat kata orang kasarnya.
Coba kalian tanya kepada orang yang sudah menikah, “Enak nggak sih menikah?”, jawabannya kalau beneran jujur kebanyakan adalah, “Kalo gue boleh milih untuk nggak nikah, mending nggak deh. Enakan single. Bebas!”. Tapi kalau kalian tanya kepada jomblo, “Mau nggak menikah?”, kebanyakan jawabannya, “Gue tetep pengen nikah!” Rumput tetangga memang tampak lebih hijau, tapi coba tanya lagi ke diri sendiri: apakah alasanmu ingin menikah?
Kalau ditanya apakah saya mau menikah, saya tetap mau. Alasannya karena belum pernah. Penasaran aja dari milyaran lelaki di muka bumi, siapakah lelaki beruntung itu yang bisa menaklukan saya? Hehe! Yang jelas, menikah itu bakal jadi the biggest adventure in my life! Meski tidak punya beban dan tekanan, saya masih perempuan normal yang naksir cowok dan usaha kok.
Tapi memang saya tidak mau punya anak. Mohon tidak menuduh saya macam-macam. Menurut saya, punya anak itu merupakan suatu tanggung jawab yang amat besar. Dan terus terang saya malas bertanggung jawab sebesar itu. Lagipula, bumi kita sudah kebanyakan manusia yang makin lama makin mengancurkan bumi sendiri.
Kebanyakan orang Indonesia punya anak alasannya pamrih – supaya ada yang mendoakan, supaya ada yang mengurus saat tua. Setelah “berinvestasi” kepada si anak dengan harapan si anak akan membalas nantinya, maka orang tua punya banyak harapan kepada si anak. Ketika si anak tidak memenuhi harapan orang tua, aduh bayangkan betapa kecewanya. Saya tidak mau jadi orang yang pamrih begini. Nah ini jadi tambah susah bagi saya. Siapa juga orang yang mau menikahi perempuan yang tidak mau punya anak?
Tapi mungkin Tuhan punya jalan lain. Seringnya ada seorang anak di dalam keluarga yang “dibiarkan” jomblo karena untuk mengurus orang tuanya yang renta dan sakit. Saya adalah salah satunya diberi berkah begitu. Bahkan saya merasa bersyukur nggak punya anak karena anak saya nggak bakal merasakan sedihnya ditinggal orang tua, dan sebaliknya.
Saya sendiri pede aja nggak punya anak. Yang penting saya tidak menyusahkan orang lain. Tujuan finansial saya adalah bila nanti saya jompo dan sakit-sakitan, uang tabungan dan asuransi saya mampu bayar suster atau perawatan di RS. Sedangkan dalam kepercayaan saya, masuk surga atau tidak itu adalah hak prerogatif Tuhan, jadi tidak tergantung doa anak dan anakpun tidak tergantung doa saya.
Pertanyaan selanjutnya: apakah karena kebanyakan traveling maka saya jomblo? Atau karena jomblo maka saya traveling? Tenang aja, ada banyak cewek lain yang masih jomblo yang nggak traveling kok. Jadi jelas traveling bukan faktornya!
Sementara itu, di sisa hidup saya, ya enjoy to the fullest aja. Menikah syukur, tidak menikah pun syukur. Kebahagiaan itu bukan tergantung dari orang lain kok. Life is too short to live in fear!