Plaza Vieja, Old Havana, Cuba
Saya pikir saya gadget freak, mengalami ketergantungan terhadap gadget. Tiada hari tanpa “main” smart phone, laptop/ tablet, internet/wifi. Kecuali tidur, setiap menit mesti terkoneksi dengan segala macam akun social media seperti Twitter, Facebook, Foursquare, YouTube.
Namun sebulan di Kuba membuka mata saya. Kuba adalah salah satu negara paham komunis bersistem sosialis yang masih tersisa di dunia. Ia juga negara yang bertahan tanpa hubungan dengan Amerika Serikat, meski bertetangga. Tinggal di Kuba bagaikan kembali ke tahun 1960an dimana semuanya tampak jadul. Mobil tua, rumah tua, hotel tua. Jarang ada bangunan baru, apalagi gedung bertingkat tinggi. Pemerintah Kuba menguasai hampir segala yang ada, mulai dari tanah, perusahaan, sampai media massa.
Karena segalanya dikuasai pemerintah, hampir semua harkat hidup orang Kuba dikontrol pemerintah. Kuba adalah salah satu negara yang paling tinggi tingkat penyensorannya. Koran, radio, TV beritanya dimonopoli pemerintah, seperti zaman Orde Lama kita. Parahnya lagi, internet di Kuba pada dasarnya tidak eksis karena kepemilikan akses internet pribadi tidak diperbolehkan. Hanya hotel dan perusahaan tertentu yang diberi lisensi, itupun dimonitor dengan kecepatan yang sangat lambat dan harga yang sangat mahal. Lupakan buka Facebook, buka Gmail saja sulit!
Keadaan diperparah lagi dengan ponsel saya yang bernomor provider asal Indonesia tidak nyala karena tidak ada kerja sama roaming internasional. Harap “maklum”, telepon selular di Kuba baru masuk tahun 2008 sehingga warga Kuba pun jarang ada yang memiliki ponsel, kalau ada pun modelnya ponsel jadul (bukan smartphone). Waduh, hidup saya bagaikan terputus dengan dunia luar! Bayangkan di era dimana orang antarnegara sudah melakukan video call via smartphone, di Kuba SMS aja nggak bisa!
Dua hari pertama saya masih merasa baik-baik saja. Karena banyak hal baru di Kuba, saya tidak berkeinginan untuk membuka smart phone/laptop. Hari ketiga, smartphone saya buka-tutup berkali-kali karena sudah kebiasaan, padahal jelas-jelas pada layarnya tertulis “SOS, Emergency Call” yang berarti tidak ada sinyal sama sekali. Gilanya, saya masih berharap ada keajaiban. Kalau masuk restoran, saya buka wifi berharap ada yang nyangkut. Boro-boro ada notifikasi “connection available”, baru kali ini smartphone saya tidak mendeteksi ada apapun di udara!
Saya mulai blingsatan. Saya merasa ketinggalan berita, nggak gaul, nggak tahu apa yang terjadi di dunia, takut ada tagihan yang tidak bisa dibayar online sehingga kena denda, takut terjadi apa-apa tapi saya tidak bisa menghubungi/dihubungi. Bagaimana bisa tahu tempat apa yang akan saya tuju selanjutnya kalau tidak bisa browsing? Bagaimana cuacanya? Bagaimana mem-booking penginapan di kota selanjutnya? Bagaimana kalau hotelnya penuh? Semua hal-hal yang biasa saya lakukan dengan smartphone dan internet tiba-tiba mandeg.
Saya jadi ingat pemandangan jamak di Jakarta, dimana sekeluarga makan malam di restoran tapi kedua orang tuanya asyik pencat-pencet tuts smartphone dan kedua anaknya asyik main game di tablet. Di Kuba, anak-anak tidak ada yang punya gadget, mereka main di taman, di lapangan, di pantai bersama teman-teman sebaya atau keluarganya. Orang tua ikut bermain bersama anak-anak, dan makan malam bersama di meja sambil ngobrol. Aktivitas antarmanusia jelas lebih dihargai daripada pertemanan dunia maya. Lebih jauh lagi, kecelakaan lalin berkurang karena tidak ada yang berbicara/SMS di ponsel.
Bagaimana hidup saya di Kuba? Ternyata tidak sesulit yang saya sangka. Saya memesan penginapan di kota selanjutnya melalui telepon dari penginapan sebelumnya. Dengan demikian bahasa Spanyol saya jadi lebih maju. Saya memesan bus dengan cara datang ke terminal sejam sebelumnya. Saya minta dijemput pada jam yang sudah ditentukan karena bus di Kuba tepat waktu. Pada akhirnya, saya jadi lebih banyak mengobrol dengan orang lokal dan menikmati pemandangan, dan pada malam hari saya jadi lebih berkonsentrasi menulis karena tidak ada internet. Satu hal lagi, saya tidak lagi jadi “fakir wifi” atau “fakir charger”.
—
*Edited version dari tulisan ini dimuat di rubrik “Insight” Majalah JalanJalan.