
Laguna Miscanti (taken by Panasonic Lumix DMC-FT4)
Waktu jadi anak PA (Pencinta Alam) di SMA, istilah “mountain sickness” terdengar familiar karena merupakan salah satu materi yang diajarkan. Saat nonton film-film tentang ekspedisi pendakian gunung, penyakit tersebut dialami oleh para pendaki gunung bersalju, tapi tetap nggak terbayang sakitnya kayak apa. Baru-baru ini saya merasakan apa yang disebut dengan penyakit tersebut… jutru pada saat bukan di gunung!
Setelah gempor naik bus selama 18 jam dari kota La Serena ke Calama di negara Chile, begitu nyampe di kamar hostel, tiba-tiba kepala saya rasanya pusing minta ampun, seperti digebukin gada bertubi-tubi! Saya pikir karena kecapekan semalaman di bus dan kurang minum. Setelah mandi, saya tidur dan minum air putih banyak tapi tidak membaik, malah ditambah mual. Waduh! Saya pun minum obat sakit kepala. Sejam, dua jam, beberapa jam kemudian ternyata nggak ngaruh – kepala tetap pusing! Otomatis dari pagi sampai sore saya terkapar di tempat tidur hostel sambil mata berair terkena cahaya. Saya pikir cuma saya doang yang begini, nggak taunya si Yasmin juga mengalami hal yang sama. Kirain pusing karena perut kosong, maka kami makan di restoran terdekat. Perut telah diisi, minum air putih sudah sebotol, tapi pusing nggak hilang! Ah, mungkin masih capek. Minum lagi obat, paksa lagi tidur. Seharian kami berdua meringkuk di kamar sambil mengaduh-aduh. Perasaan lainnya adalah kaki dan tangan kesemutan! Ih aneh banget!
Sore karena masih berasa pusing dan mual, saya googling tentang gejala ini. Oalah, apakah ini yang disebut dengan altitude sickness atau Accute Mountain Sickness (AMS)? Penyakit yang dialami saat berada di ketinggian karena oksigen menipis dan rendahnya tekanan udara. Umumnya orang kena penyakit ini di ketinggian mulai 2400 mdpl (meter di atas permukaan laut) atau 8000 kaki. Tidak ada teori yang mengatakan kenapa seseorang bisa kena atau tidak penyakit ketinggian ini karena banyaknya faktor. Kota Calama terletak hanya di 2260 mdpl, tapi kenapa saya merasa begitu sakit? Saya berdiskusi sama Yasmin mengingat kami berdua pernah naik Gunung Lawu setinggi 3265 mdpl dan merasa sehat. “Yailah yaa, itu kan pas kita masih kuliah, cuy! Sekarang wis tue!” #hakjleb.
Saya pun chatting sama sahabat saya si Nina di Jakarta, katanya itu udah pasti altitude sickness. Dia pernah kena waktu ke Shangrila di China dan menyarankan untuk turun ketinggian. Hah? Padahal kota sebelumnya 18 jam naik bus lagi! Ih ogah! Saran kedua, beli obat yang mengandung acetazolamide plus dilarang mandi. Malam itu saya dan Yasmin beli obat itu ke apotek, petugasnya aja ngetawain karena ini bukan di gunung. Untuk ngetes, saya minum setengki-setengki dulu sama si Yasmin. Efeknya pusing berkurang, tapi saya jadi insomnia dan pipis melulu setiap setengah jam! Hadeuh!
Dua hari kemudian kami naik bus ke kota San Pedro de Atacama yang ketinggiannya 2407 mdpl atau naik 147 meter dalam 2 jam. Di bus kepala saya muter sampai merasa mual luar biasa, saya bertahan untuk tidak muntah. Berjalan kaki dari terminal bus ke hostel rasanya kok cepet capek karena napas tersengal-sengal. Atacama adalah daerah padang gurun di Chile yang dikeliling pegunungan Andes. Gilanya, tempat-tempat yang menarik di sana berada ketinggian di atas 4000 mdpl, seperti Laguna Miscanti pada ketinggian 4120 mdpl dan Tatio Geyser pada 4200 mdpl! Perasaannya di perut aneh banget, rasanya lambung kok bisa nyolek-nyolek jantung.
Keluar dari Chile, sekali lagi saya dihadapkan dengan ketinggian di negara Peru. Dari kota Arequipa (2335 mdpl) saya akan ke Colca Canyon melewati pegunungan dengan ketinggian 4910 mpdpl! Anjrit, itu kan lebih tinggi dari Cartenz Pyramid aka gunung tertinggi se-Asia-Pasifik yang “hanya” 4884 mdpl! Langsung stres saya membayangkannya! Sebelum naik bus, pemandu menyuruh kami membeli daun Coca. Hah? Coca? As in cocaine? Yup! Coca adalah bahan dasar pembuat salah satu jenis narkoba yang bernama kokain!
Di Peru dan Bolivia, daun Coca itu legal karena merupakan budaya dari orang pegunungan Andes sejak zaman Inca untuk mengunyah daun Coca sebagai tambahan energi. Harganya hanya 2 Soles atau sekitar Rp 8.000 seplastik kecil, termasuk sebuah “batu” kecil. Saya pun dikasih tau caranya. Sejumput daun digulung dengan “batu” di dalamnya lalu dikunyah. Rasa daunnnya agak pahit, tapi batu tersebut yang ternyata semacam gula alami membuat agak manis di kunyahan akhirnya. Bau daunnya sangat keras (sampai keringat dan pipis pun berbau coca). Sepanjang perjalanan saya berasa baik-baik aja, tidak mual sama sekali.
Problem selanjutnya, dari ketinggian hampir 5 km di atas permukaan laut, pas turun 2 km lagi saya jadi pusing! Pemandu memberi saya sebotol alkohol 70% yang banyak tersedia di apotek dan menyuruh saya menuangkannya di telapak tangan, lalu dihirup sampai batuk kayak mau dibius. Tentu saya tersedak! Katanya memang efek tersedak itu yang dicari. Tak berapa lama kemudian… hilang pusingnya! Aneh bener! Pantesan tadi di bus, ada anak kecil yang nangis, diolesin alkohol juga perutnya dan dihirupin alkohol hidungnya. Fungsinya udah kayak minyak kayu putih di kita.
Selanjutnya saya ke kota Puno di ketinggian 3830 mdpl. Berbekal daun coca, saya tidak merasa pusing dan mual lagi. Namun yang ga bisa dihindari adalah napas pendek. Biasanya kita bernapas kan lega aja, ini udara mau dihirup eh seperti udah abis di tengah hirupan. Jadi jalan itu napas kita tersengal-sengal kayak orang kecapekan berat. Apalagi kalau jalan cepat atau naik tangga, wah napas abisss! Kalau parah, rasanya seperti tenggelam di air dan ingin tarik napas tapi masih jauh! Hiy!!
Di Cusco (3400 mdpl), kota tempat transit orang sebelum ke Machu Picchu, konon katanya paling banyak “memakan korban” penyakit ketinggian. Bus-bus eksklusif ke Cusco menyediakan tabung oksigen gratis. Setiap hostel memberikan teh coca gratis. Namun beberapa traveler yang saya temui mengaku sampai parah sakitnya akibat ketinggian, malah ada yang sampai masuk RS. Setelah saya dari Puno dan tempat-tempat tinggi sebelumnya, Cusco tidak ada apa-apanya sehingga saya sehat-sehat aja. Machu Picchu sendiri ketinggiannya 2430 mdpl atau 1000 meter lebih rendah daripada Cusco, meski tetap ngos-ngosan pas mendaki sih.
Yah, berada di ketinggian itu memang beda-beda efeknya setiap orang. Sebagai anak Jakarta yang tinggal 0 mdpl, saya jadi penasaran pernah tinggal di ketinggian berapa selama ini sebagai perbandingan? Pikiran pertama saya adalah Bandung karena terletak di pegunungan makanya dingin. Eh ternyata Bandung hanya 768 mdpl!